el-maliky
Etika Berpakaian
Sebagaimana
dalam masalah-masalah lainnya, Rasulullah Saw telah pula memberi contoh dalam
hal berpakaian. Beliau menunjukkan cara dan adab berpakaian dengan jelas dan
terang. Di antaranya, yang paling menonjol ialah kesederhanaan, kebersihan, dan
kerapian.
a. Kesederhanaan
Dalam
sejarah tercatat bahwa Rasul Saw adalah seorang hamba Allah yang amat dermawan.
Beliau tak pernah menolak setiap permintaan selama apa yang diminta itu ada di
tangannya. Karena itu, bukan saja pakaiannya yang sederhana, tetapi juga makan
dan minumannya. Menurut Aisyah, isteri beliau, kasur tempat tidur beliau hanya
terbuat dari sabut kurma. Sementara itu dari Uqbah bin Amir diperoleh
keterangan bahwa Rasulullah pernah dihadiahi selembar selendang sutera. Beliau
pernah memakainya buat salat, tetapi seusai salat beliau tinggalkan dengan
hentakan keras, suatu sikap yang menunjukkan beliau tidak senang dengan pakaian
tersebut.
Sabda
beliau ketika itu:
لَا يَنْبَغِي هَذَا لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Barang ini tidaklah layak bagi orang yang bertakwa kepada
Allah.” (HR. Bukhari No.362 ; Muslim No.3868 ).
Sebenarnya,
Rasulullah Saw sebagai Rasul dan pemimpin umat, dapat saja mengumpulkan segala
jenis pakaian, dari yang sederhana sampai kepada yang mewah. Tetapi itu tidak
beliau lakukan. Beliau lebih menghendaki kesederhanaan daripada kemewahan.
Beliau
sendiri memerintahkan:
كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا
مَخِيلَةٍ
Artinya:
“Makalah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah kalian
dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak disertai dengan kesombongan.”(HR.
Nasai No. 2512; Ahmad No. 6408).
Dan Allah berfirman:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya:
“Hai anak Adam,
kenakanlah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf, 7:31).
Rasulullah
Saw memilih cara hidup sederhana, sehingga bukan saja pakainnya yang sederhana
tetapi juga makan dan minum serta hal-hal lainnya. Beliau sadar benar bahwa
Allah tidaklah senang kepada orang-orang yang berlebih-lebihan, sebagaimana
dinyatakan-Nya dalam ayat di atas.
Penting
diperhatikan, pengertian sederhana tidaklah identik dengan serba kekurangan.
Sederhana, menurut galibnya, lebih dengan pengertian layak atau wajar. Maka
berpakaian sederhana artinya berpakaian menurut kebutuhan. Jika sudah cukup
tiga empat stel untuk menunjang profesi sehari-hari, maka bagi orang yang
mengambil cara hidup sederhana, jumlah itu tidak ditambah kecuali sampai
profesinya menghendaki tambahan. Dan dalam hal jenis dan bahan pakaian, jika
sudah memenuhi syarat keindahan, kebersihan, kerapian, dan dapat pula menutup
aurat, maka dia tidak meningkatkan kualitas jenis bahan pakaian itu meskipun
dia mampu membelinya.
Agaknya,
Rasulullah Saw memberi contoh hidup sederhana mempunyai tujuan yang suci. Yaitu
beliau tidak menghendaki umatnya larut dalam pesona dunia ini. Andaikata beliau
memberi contoh hidup serba “wah” tentu umatnya akan berlomba untuk meraih
predikat manusia “super wah”. Jika itu yang terjadi, maka dapat dipastikan
umatnya akan lupa kepada tujuan hidup yang sebenarnya yaitu beribadah kepada
Allah.
Kita
saksikan akhir-akhir ini, di mana kecenderungan (trend) umat telah mengarah
dengan telak kepada pola hidup konsumtif dan kompetitif, kebanyakan mereka lupa
kepada tujuan hidup yang sebenarnya. Ibadah bagi mereka hanya dianggap
pelengkap. Jika sempat, dia lakukan dan jika tidak, maka dicampakkan begitu
saja. Dan ada lagi yang melakukan ibadah jika sedang berada pada posisi
terdesak; jika dia membutuhkan pertolongan Allah. Tetapi jika posisinya normal
kembali, dia tanpa malu-malu meninggalkan ibadah itu sampai dia butuh lagi
kepada Allah.
Keadaan
umat seperti itulah yang tidak dikehendaki Rasulullah Saw. Beliau tidak ingin
melihat umatnya berlomba-lomba memperebutkan sesuatu yang bernilai rendah;
hanya berlomba sekitar tahta, harta, dan wanita. Sebaliknya, beliau senang
melihat umatnya berpacu meraih tempat paling dekat di sisi Allah, bukan
berlomba dalam hal pakaian dan perhiasan, pangkat dan harta. Beliau menyadari,
“Allah tidak melihat keindahan semu yang melekat di badan, tetapi dia melihat
keindahan abadi yang bersemi di dada.” (HR. Muslim No. 4650).
b. Kebersihan
Kebersihan dan kesucian adalah sesuatu yang teramat penting dalam
ajaran Rasulullah Saw. Begitu pentingnya, sampai-sampai hal itu beliau
kategorikan sebagai bagian dari iman. Beliau bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
Artinya: “Kebersihan/kesucian itu adalah sebagian dari iman.” (HR.
Muslim No. 328)
Dalam
ayat 222 surat al-Baqarah Allah menyatakan bahwa Dia amat senang kepada
orang-orang yang senantiasa mensucikan diri sebagaimana Dia senang kepada
orang-orang yang senantiasa bertaubat. Karena itulah agaknya, begitu Allah menurunkan
wahyu kedua kepada nabi Muhammad Saw, yang sekaligus juga merupakan maklumat
pengangkatan beliau sebagai Rasul Allah, masalah kebersihan dan kesucian
pakaian diperintahkan setelah mengagungkan nama Allah.
Penggalan
pertama dari wahyu kedua itu berbunyi:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ، قُمْ فَأَنْذِرْ، وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ،
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ، وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Artinya:
“Hai orang yang
berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah,” (QS.
al-Muddaststir, 74:1-5).
Medan
kebersihan dan kesucian tersebut tentunya meliputi segala aspek hidup dan
kehidupan. Bukan saja pakaian, badan, tempat tinggal, tetapi juga makanan,
minuman, tempat tidur, perabotan rumah, dapur, lingkungan hidup, dan
sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar kita hidup sehat dan segar, dan juga
menghindari tercemarnya lingkungan sekitar.
c. Kerapian
Pakaian
dan perhiasan akan terlihat indah dan menarik bila ditata dengan rapi. Kerapian
ini agaknya sangat ditekankan oleh Rasul Saw. Beliau sendiri setiap tampil di
muka umum menunjukkan kerapian, baik pakaian maupun rambut, kumis, dan
jenggotnya.
Menurut
Imam Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw menentukan jangka waktu paling
lambat 40 hari untuk menggunting kumis, mengerat kuku, mencabut bulu ketiak,
dan mencukur ari-ari. Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah Saw memerintahkan:
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Artinya:
“Guntinglah
kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Bukhari No. 5443; Muslim No. 380).
Hadist
ini menunjukkan beliau amat senang kepada kerapian. Dan sebaliknya, beliau
tidak senang kepada kesemrawutan dan ketidaktertiban. Dan dalam riwayat lain
lagi, Rasulullah Saw menampakkan ketidaksenangannya kepada pemuda yang
rambutnya gondrong lagi kusut dan tidak dipelihara dengan baik.