Rosululloh SAW bersabda:
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ
فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ
رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ
Artinya: “Bahwasanya seseorang di antara kamu berusaha
mengumpulkan kayu, memikulnya sendiri di atas punggungnya, lalu dijual, itu
lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang lain, diberinya atau ditolaknya
sama saja.”(HR. Bukhari No. 1377; Muslim No. 1728).
Dari Hadis di atas dengan jelas memperlihatkan betapa
pentingnya mencari nafkah hidup dengan usaha sendiri, bukan dengan
meminta-minta. Usaha mencari nafkah/rizeki dapat dilakukan dengan berbagai
cara, misalnya: bertani, berkebun, berdagang, industri, tambang, menangkap
ikan, dan sebagainya, termasuk memanfaatkan jasa, baik perburuhan maupun non
perburuhan.
Berikut cara-cara mendapat rizki yang d benarkan menurut
ajaran agama Islam
a. Tidak
menyebabkan lalai dari kewajiban kepada Allah, karena hakekat mencari nafkah
itu selain untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga untuk mempermudah penuaian
kewajiban kepada Allah.
Allah mengingatkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.” (QS. al-Munafiqun, 63:9).
b.
Tidak
merugikan kepentingan umum. Allah tidak membenarkan seseorang mengeruk
keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan umum atau masyarakat,
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. al-Nisa’, 4:29).
Di antara jalan yang batil itu ialah mengambil riba,
perdagangan minuman keras, curang dalam menakar dan menimbang, mencuri, dan
menimbun barang dagangan dengan maksud supaya harganya naik.
c.
Tidak
putus asa dari rahmat Allah, karena rahmat Allah itu amat luas, dan orang-orang
yang putus dari rahmat itu termasuk golongan orang-orang kafir. Allah
berfirman:
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ
وَأَخِيهِ وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ
اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Hai anak-anakku,
pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir".(QS. Yusuf, 12:87).
d.
Tidak
menyia-nyiakan rahmat yang telah diterima, Allah berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ
كَفُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan
dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra, 17:26-27).
e.
Tidak
iri terhadap bagian rezeki yang diterima orang lain, sebagaimana tertera dalam
firman Allah:
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian
yang lain dalam hal rizeki.” (QS. al-Nahl, 16:71).
Sekelumit keterangan ini
semoga membawa mamfaat AMIIN