Membentuk Keluarga sakinah


el--maliky
Keluarga sakinah adalah keluarga bahagia yang menjadi idaman dan tujuan semua pasangan dalam mengarungi bahterah berumah tangga, untuk menjamin terciptanya keluarga sakinah diperlukan adanya saling pengertian antara suami isteri mengenai hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana telah di atur dalam Al-Qur’an.


Secara umum suami sebagai nahkoda yang bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga baik secara moral maupun material sedangkan isteri hendaklah taat terhadap kepemimpinan suami dan dalam beberapa hal dia dapat berperan mengatur pengelolaan rumah tangga dengan persetujuan suami.

Sebagai konsekuensi dari kedudukan suami sebagai kepala keluarga, suami memperoleh hak yang paling besar dalam institusi keluarga. Rasulullah Saw mengisyaratkan hal tersebut dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh Hakim dari Aisyah, Dia berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah Saw, siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan? Beliau menjawab: “Suami”, Lalu saya bertanya: “Siapakah orang yang berhak paling besar terhadap laki-laki?” Beliau menjawab: “Ibunya”. (HR. Al-Hakim). Rasulullah juga bersabda: “Andai saya menyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya saya akan perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya,” (HR. Ibnu Majah No.1842).

Secara umum hak suami ada tiga, yaitu ditaati, dihormati, dan dilayani dengan baik. Untuk memenuhi ketiga hak suami itu tersebut hendaklah seorang isteri menunaikan kewajiban-kewajiban berikut:
1.  Isteri mematuhi setiap perintah suami selama bukan perintah kepada kemaksiatan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan; ketaatan hanya berlaku dalam hal kebaikan”. (HR. Bukhari No.6716).

2.  Memelihara kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya. Allah berfirman: “wanita sholehah, ialah yang ta`at kepada Allah juga memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. al-Nisa’, 4:34).

3. Menyambut baik ajakan suaminya, sebagaimana diisyaratkan Rasulullah Saw dengan sabdanya:  “Jika suami mengajak si isterinya ke tempat tidurnya lalu dia menolak ajakan itu dan suaminya kemudian marah, maka para malaikat akan melaknatnya sampai tiba shubuh.” (HR. Bukhari No. 4794; Muslim No. 2594).

4. Tidak keluar rumah dan tidak berpuasa sunnat tanpa diizinkan suaminya. Rasulullah saw bersabda: “Hak suami terhadap isterinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya sekalipun sedang di atas punggung unta; tidak berpuasa walaupun sehari tanpa seizinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia berbuat demikian, ia berdosa dan tidak diterima puasanya. Ia tidak boleh memberi sesuatu dari rumahnya kecuali dengan izin (suaminya). Jika ia memberi maka pahalanya bagi suaminya, dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya sampai ia bertobat dan pulang kembali sekalipun suaminya itu dzalim.” (HR. Abu al-Tayalisi)

5. Tidak memasukkan seseorang ke rumah suami, siapa saja yang tidak disukai oleh suaminya. Rosululloh SAW bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian mempunyai hak terhadap isteri-isteri kalian, dan isteri kalian mempunyai hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh memasukkan ke rumah, orang yang kalian benci. Dan hak mereka terhadap kalian yaitu kalian memberi pakaian dan makanan mereka dengan baik.” (HR. Turmuz|i No. 3012; Ibnu Majah No. 3046)

Selain hak ditaati, dihormati dan dilayani dengan baik, ada lagi beberapa hak lain yang diberikan Allah kepada seorang suami, misalnya suami berhak menghukum isterinya yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda kedurhakaan (nushuz). Penggunaan hak ini diatur oleh Allah sebagaimana tertera dalam firman-Nya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. al-Nisa’:34).

Seperti dijelaskan bahwa suami mempunyai beberapa hak yang wajib dilaksanakan seorang isteri. Maka seorang  isteri juga mempunyai beberapa hak yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Di antara hak isteri tersebut ialah:

1.  Memperoleh belanja (nafkah) yang cukup sesuai dengan kemampuan suami. Hak ini ditentukan oleh Allah dengan firman-Nya:  “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah, 2:233). Dan juga firman-Nya:  “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. al-Talaq, 65:7).

2.   Memperoleh tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuan suami. Allah memerintahkan suami untuk menunaikan hak isteri ini dalam firman-Nya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. al-Talaq, 65:6).

3.  Memperoleh perlakuan yang baik. Allah berfirman: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. al-Nisa’, 4:19).

Perlakuan yang baik kepada isteri antara lain dapat dilakukan suami dengan cara-cara:
a.   Suami memberinya makanan yang cukup, pakaian yang layak dan perhiasan yang tak mengecewakan. Juga tidak memukul muka dan tidak menjelekkannya. Dalam kaitan ini diriwayatkan bahwa Mua’wiyah bin Abi Sofyan pernah bertanya kepad Rasulullah Saw, katanya: “Ya Rasulullah, apakah hak seorang isteri kepada suaminya ? Jawab Rasulullah: “Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana yang engkau pakai. Janganlah engkau memukul mukanya. Jangan engkau menjelekkannya, kecuali masih dalam satu rumah.” (HR. Abu Daud No. 1830).

b.  Suami menerima keadaan si isteri menurut apa adanya. Artinya suami dituntut menyadari apabila kemudian mendapati isterinya dilekati oleh sifat-sifat kekurangan, karena bagaimanapun isteri itu adalah manusia biasa. Jika suatu ketika menjengkelkan, maka hal itu adalah biasa, sehingga suami tidaklah benar apabila senantiasa menurut isterinya berbuat dan bersikap seperti apa yang diharapkan. Rasulullah Saw mengingatkan: “Berwasiatlah kepada perempuan dengan baik. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah atasnya. Jika engkau dengan kerah (ngotot) meluruskannya, niscaya akan mematahkannya. Tetapi kalau engkau biarkan niscaya akan tetap bengkok. Berwasiatlah kepada perempuan” (HR. Bukhari No. 4787; Muslim No.2671).

Hadits tersebut mengingatkan setiap suami bahwa karakter perempuan secara alami adalah bengkok. Untuk meluruskannya hampir-hampir tidak mungkin karena bengkoknya itu ibarat tulang rusuk yang berbentuk busur yang memang tidak dapat diluruskan. Karena itu dalam menggauli isteri hendaklah memperhatikan kodratnya yang alami itu. Dan apabila setelah dengan baik, ternyata tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, suami dituntut menerima segala kekurangan asal dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir, seperti suka mengeluh, manja dan sejenisnya. Tetapi kalau isteri suka memfitnah, suka mengganggu tetangga, lebih-lebih suka berbuat serong, maka tentu saja suami harus segera mengupayakan agar kebiasaan buruk itu dapat berubah dan diperkecil atau dikurangi intensitasnya.

c.       Suami mengumpuli isterinya dengan baik, antara lain dengan cara:
·         Tidak melihat auratnya yang paling vital.
·         Ketika mengumpulinya diawali dengan membaca basmalah.
·         Mengumpulinya di tempat yang tertutup, dan tidak membuka rahasia persenggamaan.
·    Mengumpulkan dengan sungguh-sungguh, artinya jangan mengakhiri hajat apabila isteri belum mencapai hajatnya (klimaks).
·     Mengumpulinya pada tempat yang diperintahkan Allah (QS. 2:222), bukan pada dubur atau tempat lainnya. Menurut Imam Ahmad, Rasulullah Saw mengutuk siapa saja yang mendatangi isterinya pada duburnya (HR>. Ahmad No. ).

d.  Apabila terpaksa menthalaknya, hendaklah menthalak dan merujuknya dengan baik, sebagaimana diperintahkan Allah Swt. “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah, 2:231).

Menthalak isteri dengan baik, dapat dilakukan dengan cara:
·   Tidak menthalak isteri kecuali dengan alasan yang benar, misalnya dia tidak lagi dapat diajak untuk membina rumah tangga. Jadi tidak menthalaknya dengan semena-mena.
·     Menthalaknya ketika masa suci, artinya isterinya itu tidak dithalak pada waktu datang haidnya.
·     Menthalaknya pada waktu dia dapat menghadapi ibadahnya secara wajar. Allah berfirman: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.” (QS. al-Talaq, 65:1).

Ayat tersebut mengajurkan kepada nabi dan segenap kaum Muslimin bahwa apabila menthalak isteri hendaklah ketika ia dapat menghadapi (memasuki) iddahnya. Permulaan masa iddah itu ialah waktu “suci”. Tidaklah dibenarkan menthalak isteri ketika haid, bahkan ketika suci yang telah dicampuri.

Imam Muslim, Bukhari, dan Nasai meriwayatkan dari Nafi dari Ibnu Umar, bahwa ia (Ibnu Umar) pernah mencerai isterinya sedang ia dalam keadaan haid. Kemudian Umar (bapaknya Ibnu Umar) bertanya kepada Rasulullah Saw, maka jawab beliau: “Perintahkan dia supaya merujuk isterinya itu, kemudian tahanlah dia sampai ia suci kemudian haid lagi kemudian suci lagi, kemudian jika ia suka, tahanlah sesudah itu; dan jika ia suka, ceraikanlah sebelum menyentuhnya. Dalam iddah yang diperintahkan Allah , yaitu: perempuan dicerai pada iddahnya.” (HR. Bukhari No. 4850; Muslim No. 2675).

Apabila isteri yang dicerai/dithalak itu hendak diruju’ lagi, maka meruju’nya juga harus dengan baik-baik, misalnya dengan cara:
a.  Tidak dimaksudkan untuk memudlaratkan istreri: Allah berfirman: “Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS. al-Baqarah, 2:231).

b.  Dilakukan di hadapan dua orang saksi yang adil. Allah berfirman: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS. al-Talaq, 65:2).

c.   Tidak mengusirnya dari rumah, kecuali telah nyata-nyata melanggar ketentuan agama. Allah berfirman: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (QS. al-Talaq, 65:1).

Demikianlah beberapa hak isteri yang harus ditunaikan suaminya. Sementara itu ada pula hak isteri yang lainnya, yang penunaiannya tidak dibebankan kepada suami yaitu hak menerima warisan apabila suaminya yang meninggal meninggalkan harta.

Penting juga demi mewujudkan keluarga sakinah memperhatikan Kriteria Calon Isteri yang bisa menjadi pendamping kita dari dunia sampai akherat dan semoga apa yang di sampaikan bermamfaat dan kita semua di jadikan keluarga sakinah, mawaddah warrohmah. Amiin .

Bookmark the permalink.

Leave a reply